Sejarah

MUHAMMADIYAH DI SURABAYA

Hampir semua orang tahu bahwa Surabaya yang terletak di tepi laut jawa itu dikenal sebagai kota bandar atau kota pahlawan. Yang tidak banyak diketahui orang agaknya adalah, betapa watak kota ini telah mempengaruhi pula sikap hidup dan cara berfikir warganya. Ajaran-ajaran agama Islam yang dianut sebagian besar warga kota, ternyata telah "berbelok" dan sekaligus hanyut dalam arus Tahayul Bid’ah dan khurafa. Akibatnya tak heran jika ada sebagian orang kemudian dengan serta merta melempar tuduhan: begitulah Islam. Sembari mencibir mereka mengatakan: Islam adalah racun jiwa masyarakat, belenggu kemajuan dan kemerdekaan berfikir!

Tuduhan itu dilempar bukan sepenuhnya tanpa alasan. Sebab di kalangan pemeluk Islam waktu itu memang telah "turun" beberapa ajaran baru. Berpantalon dan berdasi haram hukumnya karena menyamai pakaian orang kafir. Mengajar Al Qur'an dengan menterjemahkannya apalagi menuliskan ayat-ayatnya di papan tulis adalah haram pula. Belajar bahasa asing selain bahasa Arab haram! Dan banyak lagi yang lain. Pendek kata Laknati dunia ! Dunia adalah sorga bagi orang kafir, tempat bagi orang Islam di akherat. Sampai-sampai alat-alat musik yang dinilai datang dari "luar", turut pula diharamkan. Tapi alat musik yang bernama rebana boleh. Mengapa? Rebana alat musik yang datang dari Arab, negeri asal datangnya agama Islam. Masyarakat begitu sederhana dalam memahami Islam serta terkungkung oleh simbol-simbol budaya arab.

Surabaya sebagai kota yang berpenduduk heterogen pada saat penjajahan Belanda itu sangat jelas kompleksitasnya dari yang mewakili Pedagang, Politisi, Birokrat , Buruh, Priyayi, Ulama, dan masyarakat abangan bisa berinteraksi dengan dinamikanya masing-masing sebagai masyarakat pelangi yang mewarnai Surabaya. Tradisi, budaya dan mitos seperti sudah bersenyawa sehingga model-model ruwatan sebagai bentuk menghilangkan balak, tayuban dikampung-kampung dengan sajian tarian wanita-wanita dan minuman arak yang bisa dilanjut dengan transaksi seks, Mengkramatkan tempat-tempat dan benda-benda tertentu seperti pohon, kuburan, keris, akik dan lain sebagainya begitu semarak dipojok-pojok kampung Surabaya.

Syukur pada saat-saat demikian, seorang pemuda dikabarkan akan "pulang kampung" dari perantauannya di Mesir. Pemuda itu adalah KH Mas Mansur. Tekad sudah bulat untuk membenahi keadaan ummat Islam yang tengah dikungkung oleh mendung Tahayul, Bid’ah dan khurafat yang demimikian parah dan meningggalkan rasionalitas dari akal sehatnya. Langkah pertama yang diambil Mas Mansur adalah turut mengajar di Madrasah "NADLATUL WATHAN" yang terletak di daerah Kawatan bersama KH Mas Alwi. Langkah ini segera disusul dengan aktifnya Mas Mansur bersama KHA Wahab Hasbullah, KH Amien dan ulama-ulama Surabaya lainnya. Langkah ini ternyata tidak mulus. Terjadi perbedaan pendapat pada masalah furu'iyah dalam merumuskan faham hidup dan berjihad dan masalah ubudiyah serta tentang methode mengajar yang dipakai Mas Mansur. Madrasah "Nahdlatul Wathan" terpaksa ditinggalkannya dan mendirikan madrasah sendiri di mesjid Taqwa. Di madrasah "Hisbul Wathan" inilah langkah Mas Mansur diteruskan bersama KH Mas Alwi. Yang diterima menjadi santri adalah mereka yang mau dan bersedia dibai'at, bahwa mereka akan sungguh-sungguh belajar dan kelak setelah tamat rela menjadi Muballigh. Semula cuma berangkat dengan 40 orang santri dan Alham-dulillah hingga kini madrasah itu masih hidup yang kemudian dipimpin sendiri oleh putera almarhum, H. Aunurrafiq Mansur. Madrasah ini kini berganti nama dengan madrasah Mufidah.

KH Mas Mansur dan KH Mas Alwi ternyata tidak sendirian. Di tempat lain konon ada juga sebuah pondol pimpinan H. Ali meski tanpa hubungan sebelumnya mempunyai "garis" yang sama dengan mereka. Tahun 1920 datang lagi kawan seperjalanan, yaitu seorang musyafir dari Padang bernama Fakih Hasyim. Orang yang disebut terakhir ini kemudian atas permintaan H. Ali turut mengajar dipondok itu. Fakih Hasyim ternyata membawa udara baru di kalangan pemeluk agama Islam. Adat pusaka usang peninggalan nenek moyang sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.

Langkah baru diambil lagi, yaitu dengan didirikannya oleh H. Ali dkk. suatu perkumpulan bernama "IHYA US SUNNAH". Menghidup-hidupkan sunnah ajaran Rasulullah. Ini segera disusul atas inisiatif Pimpinan Sl (Tjokro dkk.) dan mas Mansur dengan berdirinya organisasi Tabligh "TA'MIRUL GHOFILIN". Harap maklum: Fakih Hasyim adalah ahli sejarah dunia dan tarikh kebangkitan Islam, pernah golongan Arab yang tergabung dalam Al Irsyad menyambutnya dengan hangat. Itu terjadi keti-ka Fakih Hasyim mengupas sejarah perkem-bangan Islam dan silsilah Rasululloh.

Tapi semua itu tidak berarti bahwa "faham baru" begitu disebut orang yang dibawa Fakih Hasyim bisa hadir tanpa tantangan. Reaksi masyarakat ternyata cukup keras. Di antaranya dengan "pemboikotan": siapa yang berani dan tetap mengikuti "faham baru", diharamkan. Bertegur sapa dicibiri. Dan bila bertamu, maka bekas injakan kaki di lantai akan disucikan, najis! Wah!

Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kenjeran Surabaya berdiri tahun 1990 dan merupakan pecahan dari PCM Sukolilo, sebagai akibat pemekran wilayah kecamatan. Ketua PCM. Kenjeran yang diberikan amanah saat itu adalah Drs. Abdul Munif, sedangkan bagian PKU adalah Drs. Khatam Susanto.